Selasa, 25 November 2008

Artikel

PENGARUH PERCERAIAN ORANG TUA TERHADAP KEPRIBADIAN SISWA SMK
Oleh : Hj. Rosda Achmad, S.Pd

Ketika menjalankan fungsinya, pendidikan bersandar pada dua dimensi asasi, yaitu tabiat individu dan lingkungan sosialnya. Kepribadian individu berkembang dan terbentuk tidak lain merupakan hasil dari terjadinya interaksi antara tabiat (nature) kemanusiaannya dan factor-faktor lingkungan artinya, tingkah laku atau dapat di katakan kepribadian seseorang merupakan produk interaksi antara tabiat dan lingkungan sosialnya. Hal ini merupakan karakteristik proses pendidikan, tanpa adanya interaksi tersebut pendidikan tidak akan dapat berfungsi sebagai mana mestinya, oleh sebab itu di dalam pembentukan kepribadian seseorang perlu ada fleksibilitas dan elastisitas yang memungkinkan terjadinya pembentukan kepribadian seseorang secara benar.
Proses humanisasi dilakukan oleh pendidikan terkadang dapat menjadi sulit atau menjadi mudah akibat adanya faktor-faktor yang disebabkan oleh lingkungan sosial seseorang hubungan yang berlaku antar manusia, baik antar individu maupun antar kelompok, tingkat ke harmonisan yang di rasakan oleh masyarakat serta tingkat kemampuan lingkungan untuk merealisasikan berbagai kebutuhan individu, semuanya dapat mempermudah dan mempersulit proses pendidikan yang di terima dan dialami oleh seseorang.
Hery Noer Aly dan H. Munzier S ( 2000 : 176 ) berpendapat, “ bahwa infleksibilitas lingkungan sosial berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadian.” Adapun yang dimaksud dengan infleksibilitas lingkungan adalah sejauh mana lingkungan bertentangan dengan kebutuhan dan tuntutan pribadi seseorang. Seseorang atau individu manusia akan hidup dalam kondisi harmonis bersama lingkungannya baik didalam lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat, bila selama lingkungan itu mampu memenuhi kebutuhannya, baik psikis maupun fisik. Namun apabila lingkungan tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka akan terjadi ketidakharmonisan antara seseorang dan lingkungannya, implikasinya seseorang akan berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengembalikan keharmonisan tersebut atau mungkin mengabaikannya.
Pendidikan secara umum disadari merupakan urat nadi kehidupan seseorang dan masyarakatnya. Sebesar apapun yang telah diberikan oleh pendidikan, maka akan sebesar itu pula nilainya didalam mendidik seseorang dan dalam membentuk kepribadiannya. Ada anggapan dasar bahwa kerja sama antara keluarga dan sekolah merupakan urgensi kependidikan dan keduanya berintegrasi saling melengkapi dan menguatkan.
Keluarga merupakan pusat pendidikan pertama yang di terima oleh seseorang sebagai wadah seorang anak berinteraksi dan memperoleh kehidupan emosionalnya. Keutamaan ini membuat keluarga memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap anak, terutama peran dan fungsi orang tua. Keharmonisan orang tua yang tercipta didalam kehidupan rumah tangga dalam menjalankan fungsi dan perannya terhadap anak akan sangat membantu dalam upaya membentuk kepribadian seorang anak. Kegagalan yang terjadi pada orang tua didalam menjalankan peran dan fungsinya terhadap anak akan cenderung menimbulkan permasalahan terhadap proses pendidikan yang di jalaninya atau pembentukan kepribadiannya.
Terjadinya perceraian orangtua didalam keluarga merupakan salah satu bentuk kegagalan orang tua didalam menjalankan dan membina fungsi dan perannya di dalam keluarga yang pada akhirnya berimbas terhadap anak. Konflik perceraian orang tua yang terjadi di dalam keluarga cenderung menempatkan anak dalam situasi yang membuat kepribadian mereka menjadi terpecah. Kehilangan rasa aman dan tentram serta terjerembab dalam kebingungan dan keterlantaran, dengan situasi dan kondisi yang demikian membuat seorang anak akan berlindung pada apa yang disebut “dalih melarikan diri” yang terkadang bertindak dan bertingkah menuntut sikap dan perhatian orang lain.
Dari beberapa sumber kepustakaan yang penulis dapatkan, diketahui bahwa terjadinya kasus-kasus perceraian orang tua dalam rumah tangga atau keluarga disebabkan atas berbagai faktor dan keadaan, antara lain sebagai berikut:
1) Faktor eksternal ( sebab kematian ), atau perceraian yang terjadi karena kematian atau salah satu dari kedua orang tua meninggal, sehingga terjadi orang tua menjadi berperan ganda sebagai seorang ayah sekaligus seorang ibu, sehingga dalam menjalankan fungsinya kurang memperhatikan hal-hal yang diperlukan oleh anak seperti kasih sayang dan perhatian. Hal ini biasanya menyebabkan seorang anak merasa kehilangan kasih sayang dan perhatian dari salah satu orangtua nya mungkin ayah atau ibunya.sehingga sikap kepribadian si anak atau siswa cenderung menuntut keinginan dari orang lain untuk memberikan perhatian kepadanya.dan bila itu dialami siswa,cenderung menimbulkan masalah di dalam kegiatan belajar di sekolah.
2) Faktor internal keluarga, dimana terjadinya perceraian orang tua karena perselingkuhan atau salah satu orang tua menikah lagi
3) Faktor internal yang lainnya adalah perceraian orang tua terjadi karena tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya di dalam keluarga.
Dampak yang terlihat akibat terjadinya perceraian orang tua di dalam rumah tangga karena alasan di atas bagaimanapun juga akan memberikan dampak yang kurang baik bagi si anak. Kondisi yang demikian akan menyebabkan terbentuknya apa yang disebut dengan istilah keluarga tiri. Keluarga tiri yang terbentuk akibat terjadinya perceraian orang tua, sebenarnya dapat dikatakan masih menjadi anggota dari suatu keluarga. Namun yang terjadi, kebanyakan orang tua yang menikah lagi atau berperan ganda harus terlibat dengan pembinaan dua bagian keluarga, yaitu keluarga tiri dan keluarga yang diceraikannya atau berperan ganda dalam menjalankan fungsinya sebagai orang tua. Akibat kondisi yang demikian anak akan mengalami kesulitan di dalam mengatur hubungan baru dengan orang tua mereka sendiri, sehingga sikap yang timbul pada diri anak kebanyakan menunjukkan ketidak pedulian terhadap segala usaha orang tua mereka. Hal ini sudah tentu akan mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian atau karakter si anak tidak saja di lingkungan keluarganya, namun juga di lingkungan masyarakat maupun lingkungan sekolahnya.
Dalam kehidupan rumah tangga dikenal istilah manajemen rumah tangga yang merupakan suatu proses pengaturan yang terjadi dari sejumlah aktivitas-aktivitas rumah tangga sebagai upaya untuk mencapai sasaran dan tujuan dalam kehidupan seseorang atau kehidupan keluarga. Pelaksanaan manajemen rumah tangga yang baik akan memiliki kemampuan melihat sumber-sumber kesalahan atau masalah dan segala kelemahannya serta mampu pula mencari jalan pemecahannya. Keluarga yang dapat menjalankan manajemen rumah tangga secara baik dan benar akan dapat menjadikan suatu keluarga yang kokoh.
Mengutip pendapat dari Ratna Megawangi ( 2004 : 64 ) dikatakan, “ Bahwa keluarga kokoh adalah keluarga yang dapat menciptakan generasi-generasi penerus yang berkualitas, berkepribadian kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku kehidupan masyarakat, dan akhirnya membawa kejayaan bangsa.”
Pemecahan masalah-masalah yang terjadi di dalam kehidupan berumah tangga atau keluarga ini sangat penting dimiliki, oleh karena sering terjadi timbulnya kesalahpahaman atau benturan-benturan antara anggota keluarga terutama pada orang tua, suami atau istri. Oleh karenanya diperlukan kemampuan untuk melihat dan menilai mana yang salah dan mana yang benar. Kemudian melakukan kebijaksanaan untuk menggulanginya sedini mungkin. Diketahui bahwa segala perilaku orang tua dan pola asuh yang diterapkan di dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian atau karakter seorang anak.
Adapun perilaku yang diterima oleh anak akibat permasalahan dalam rumah tangga ini menyangkut tentang bagaimana kasih sayang, sentuhan, kelekatan emosi ( emotional bonding ) orang tua terutama ibu, serta penanaman nilai-nilai agama maupun yang berlaku di masyarakat dapat mempengaruhi kepribadian.
Ada beberapa hambatan-hambatan yang sering terjadi di dalam rangka membina suatu manajemen rumah tangga yang baik, diantaranya adalah :
1.Suami atau istri sangat tertutup dan tidak terbuka dalam penerimaan masalah
2.Anggota keluarga tidak suka bermusyawarah dalam menyelesaikan suatu masalah yang terjadi
3.Suka menyembunyikan sesuatu pemberian kepada keluarga suami ataupun istri
4.Adanya campur tangan orang tua baik dari pihak suami atau istri yang terlalu jauh
5.Suka menyinggung perasaan anggota keluarga, baik anak, suami maupun istri dan sering melontarkan dan terbiasa bersikap dan berkata kasar
6.Istri atau suami yang terlalu pencemburu
Hambatan-hambatan itu bila tidak diselesaikan, terkadang dapat menjadikan konflik dalam rumah tangga yang ujungnya dapat memutuskan hubungan atau ikatan tali pernikahan kedua orang tua. Diketahui bahwa perkawinan pada dasarnya adalah mempertemukan dua orang yang berlainan jenis dari lingkungan asalnya yang berbeda, yang juga dengan latar belakang adat, kebiasaan, watak, pribadi, pola asuh dalam keluarga dan pendidikan serta dengan harapan dan keinginan masing-masing yang berbeda. Melalui perkawinan mereka sepakat untuk mempertemukan segala perbedaan-perbedaan itu menjadi suatu kesatuan yang padu dalam rangka membina keluarga yang bahagia dan sejahtera. Oleh karenanya semakin banyak persamaan yang dimiliki diantara pasangan itu, maka semakin mudah mereka menciptakan keharmonisan dalam keluarga.
Terjadinya beberapa masalah atau kasus yang dialami para siswa di sekolah, khususnya di SMK NEGERI 52 Jakarta, salah satunya karena akibat faktor terjadinya konflik di dalam keluarga atau orang tua. Beberapa data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak yang bermasalah di sekolah umumnya disebabkan karena terjadinya permasalahan di dalam keluarga. Masalah perceraian orang tua dalam rumah tangga atau masalah lainnya yang terjadi di dalam keluarga yang pada akhirnya dirasakan oleh anak atau siswa, umumnya akan terbias didalam aktivitasnya di sekolah. Beberapa permasalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh siswa bermasalah diantaranya adalah karena terlibat kasus kriminal, perkelahian/kenakalan biasa, keresahan, dan lain sebagainya. Kondisi yang demikian jika tidak ditangani baik oleh orang tua selaku unsur dan pihak guru selaku unsur sekolah, maka akan dimungkinkan menyebabkan siswa semakin jatuh terjerumus pada permasalahan-permasalahan yang lebih besar lagi di kemudian hari.
kondisi yang terjadi ini, umumnya membawa pengaruh yang tidak baik, tidak saja bagi diri siswa, namun juga bagi nama baik keluarganya maupun sekolah sebagai contoh diantaranya adalah ; kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap sekolah, sulit untuk meningkatkan mutu, menyulitkan hubungan antara sekolah dengan institusi lain contoh hubungannya dengan dunia usaha atau dunia industri, dan adanya kecenderungan sekolah yang sering bermasalah selalu disalahkan.
Konflik yang dialami oleh siswa di lingkungan keluarga, sudah tentu akan dapat menghambat segala aktivitas maupun pembentukan dan perkembangan kepribadiannya di sekolah. Oleh karena Sekolah di dalam peranan dan fungsinya menjalankan dan melaksanakan proses pengajarannya mencakup berbagai aspek, tidak saja dari segi pencapaian kognitif ( pengetahuan ) maupun psikomotorik ( ketrampilan ), namun juga memiliki sasaran dan pencapaian tujuan aspek attitude ( sikap ) dan kepribadiannya. Lingkungan keluarga sesuai dengan alamnya adalah menyediakan bagi anak kesempatan untuk berkembang secara sehat jasmani dan rohaninya dalam suasana penuh rasa aman, dilindungi, disayangi, dan dicintai. Kegagalan keluarga dalam memberikan semua itu akan menyebabkan terjadinya situasi konflik pada diri anak.lantaran tidak atau kurang adanya rasa saling memiliki tentang eksistensinya didalam keluarga.dan kegagalan ini pada gilirannya akan membuat anak secara alami bersifat general, baik dalam pengambilan keputusan maupun pengalamannya pada proses pendidikan dan kepribadiannya.
Dengan demikian pengaruh itu akan berpindah kepada situasi lain yang semakin kusut dan kompleks. Salah satu alternatif yang di upayakan dalam mengatasi kepribadian anak atau siswa yang bermasalah akibat pengaruh perasaan orang tua didalam keluarga adalah dengan menjalin kerja sama yang baik antara sekolah dan keluarga, dan sekolah pada akhirnya harus mampu bekerja sama secara baik dan benar, serta saling membantu dalam mengkoordinasikan persoalan-persoalan atau permasalahan-permasalahan yang terjadi pada diri anak secara bersama dan berupaya mencapai kesepakatan dalam berbagai hal yang berhubungan dengan pendidikan sebagai alternatif untuk menggapai dan meraih masa depannya yang lebih baik, tidak saja bagi kepentingan keluarganya namun juga bagi kepentingan tujuan kepentingan sekolahnya.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan menengah kejuruan ( SMK ) merupakan pendidikan yang berada pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didiknya untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu sesuai dengan pengkajian dan pendalaman program studinya serta kemampuan untuk dapat beradaftasi di lingkungan kerja maupun masyarakat, melihat peluang kerja dan mengembangkan dirinya di kemudian hari.
Guna memwujudkan tujuan dari pendidikan nasional, pada kurikulum SMK edisi tahun 2004 disusun dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa dan kesesuaian dengan jenis pekerjaan, lingkungan sosial, kebutuhan pembangunan nasional, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian.
Pada buku Bagian I kurikulum SMK edisi tahun 2004 tentang landasan ekonomis dijelaskan bahwa :
“Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan yang menyiapkan peserta didik menjadi manusia yang produktif yang langsung dapat bekerja dibidangnya setelah melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi, dengan demikian pembukaan program diklat di SMK harus responsif terhadap perubahan pasar kerja.”

Lembaga pendidikan SMK di dalam menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan ( diklat ) atau pembelajaran berbagai program keahlian disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan. Substansi atau materi yang diajarkan di SMK disajikan dalam bentuk berbagai kompetensi yang dinilai penting dan perlu bagi peserta didik dalam menjalani kehidupan sesuai dengan jamannya. Kompetensi yang dimaksud meliputi kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi manusia Indonesia yang cerdas dan pekerja yang kompeten sesuai dengan standar kompetensi yang ditetapkan oleh industri/dunia kerja/asosiasi profesi. Kesemuanya itu tidak akan berhasil dengan baik secara optimal jika peranan keluarga sendiri tidak mendukung upaya-upaya untuk membantu perkembangan kepribadian dan keberhasilan pendidikannya dengan sekolah

Tidak ada komentar: