Kamis, 31 Maret 2011

Artikel Pendidikan


UJIAN NASIONAL, PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN
DAN PERUBAHAN BUDAYA
Oleh : Suryanto, S.Pd (Guru SMK Negeri 54 Jakarta)

Seorang ahli pendidikan Inggris, Alfred North Whitehead pernah mengatakan bahwa, “ di tengah-tengah kehidupan modern, hukumnya mutlak. Suatu bangsa yang tidak menilai tinggi kecerdasan yang terlatih dinasibkan tenggelam dalam sejarah. Baik segala kepahlawanannya, semua kelincahannya, semua kemenangan yang telah dicapainya di darat ataupun di laut, akan mampu menolak dorongan nasib. Hari ini bangsa itu mungkin bisa bertahan. Besok, ilmu pengetahuan akan maju satu langkah. Bagi suatu bangsa yang tidak berpendidikan, tidak ada suatu mahkamah pun ke mana dia dapat memajukan pengaduan atas hukuman yang telah dijatuhkan kepada bangsa yang tidak berpendidikan “.
Dari pernyataan ini sebenarnya ingin disimpulkan dan dimaknai, bahwa jika kita adalah bangsa yang miskin, maka bangsa lain akan merasa iba dan belas kasihan kita, namun jika kita adalah suatu bangsa yang bodoh dan tidak berpendidikan, maka bangsa lain tidak akan timbul rasa iba dan belas kasihan kecenderungannya ia akan melibas, menjajah, dan memangsa kita. Dan mudah-mudahan kita tidak berada sebagai bangsa yang miskin yang senantiasa mengharap rasa iba dan belas kasih negara atau bangsa lain. Apalagi jika kita termasuk bangsa yang bodoh dan gampang untuk dibodoh-bodohi. Sudah tentu kalau saat ini kita masih memiliki eksistensi sebagai suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, besok mungkin ‘Indonesia’ tidak ada lagi di peta dunia.
Di sisi lain kita juga perlu bercermin terhadap bangsa Jepang, sebagai salah satu negara di Asia yang pertama-tama melancarkan tentang proses modernisasi, yang juga telah begitu besar memberikan perhatiannya kepada bidang pendidikan, khususnya di dalam peningkatan kecerdasan rakyatnya. Seorang cendikiawan, Yukichi Fukuzawa (1835 – 1904 ) pernah menulis dalam sebuah bukunya yang berjudul ‘ Gakumon no Susume ‘ yang artinya suatu himbauan untuk belajar, yaitu “ Bahwa Tuhan tidak menakdirkan seseorang pada tempat di atas atau di bawah seseorang yang lain. Ini berarti bahwa kalau mereka dilahirkan, mereka sama derajatnya ....Namun, kalau kita melayangkan pandangan atas suasana manusia yang sebenarnya, kita jumpai mereka yang pandai dan mereka yang bodoh, mereka yang berderajat rendah, suasana mereka sangat berbeda seakan-akan antara awan dan lumpur. Sebab-sebab adanya suasana demikian itu jelas sekali ....Kalau seseorang tidak menuntut ilmu, ia akan tetap dalam kegelapan, dan seseorang yang berada dalam kegelapan adalah orang bodoh. Oleh sebab itu, perbedaan antara pandai dan bodoh, pada hakikatnya, ditetapkan oleh pendidikan “.
Fukuzawa tidak hanya berbicara, tapi ia setia pada keyakinannya dan ia menolak beberapa tawaran pemerintah pada saat itu untuk memangku jabatan pada pemerintahan. Ia malah mendirikan sekolah yang tumbuh menjadi apa yang sekarang dikenal di seluruh dunia sebagai Universitas Keio di Tokyo.
Bertitik tolak dari gambaran itu, marilah kita lebih membuka mata kita lebar-lebar untuk melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi pada pendidikan kita saat ini, pasang telinga untuk dapat mendengarkan secara jelas segala macam bentuk kritikan dan masukan tentang mutu pendidikan. Dan menetapkan serta meyakinkan hati serta pikiran kita bahwa memang kuantital apalagi kualitas pendidikan kita saat ini masih jauh dari ketertinggalan.

Sebagai barometer agar kita dapat mensikapi permasalahan pendidikan ini secara arif dan bijaksana dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, diantaranya adalah : (1) masih banyak ketidakpedulian kita membantu terlaksananya pendidikan wajib belajar sembilan tahun terhadap anak-anak negeri kita yang berada pada usia sekolah; (2) sarana dan prasarana pendidikan yang masih kurang baik secara kuantitas maupun kualitas terlebih pada daerah-daerah pedalaman atau terpencil dan jauh dari pusat ibukota; (3) belum tumbuhnya budaya belajar dan membaca di kalangan masyarakat kita; (4) memiliki karakter pendidikan yang ‘ instan ‘ dan ‘ komersil’; (5) penilaian hasil pendidikan dari peserta didik masih berorientasi kepada rasa iba dan belas kasihan serta masih ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan politik dan golongan dan masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang sebenarnya sudah terjadi bahkan sedang terjadi.
Marilah kita masing-masing melihat dan bertanya kepada hati kecil kita, apa memang demikian adanya ? Tak perlu juga kita nantinya berdebat untuk mempermasalahkan ‘ Ya ‘ atau ‘ Tidak ‘ namun akan lebih bermanfaat energi ini digunakan untuk sama – sama memulai dari diri sendiri untuk berjalan dan bertindak yang benar. Mau di bawah kemana arah pendidikan kita, jika kita masih selalu mencari-cari kesalahan dan memaksakan diri untuk benar.
Sejauh ini kita mendengar bahwa pelaksanaan ujian nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah tiada lain salah satu tujuannya adalah untuk mengukur hingga sejauh mana pelaksanaan pembelajaran di sekolah-sekolah mampu menghasilkan tamatan yang berkualitas dan kompeten di bidangnya. Dan sejauh ini pula kita selalu menggembar-gemborkan tentang peningkatan mutu pendidikan tanpa melakukan proses yang baik dan benar dalam pembelajaran di kelas.

Pelaksanaan Ujian Nasional
Menarik garis benang merah permasalahan yang terjadi, salah satu solusinya adalah bahwa kita harus mau dan mampu merubah budaya belajar dan budaya kerja kita untuk menjadi lebih baik, lebih bermanfaat, lebih mempunyai arti, dan lebih memiliki kepedulian terhadap segala hal yang terkai dengan pendidikan di negara kita. Dari mulai proses persiapan dan kebijakan maupun aturan main yang akan dijalankan, proses interaksi dan komunikasi pembelajaran antara peserta didik dan guru pendidik, proses penilaian dan instrumen test yang valid, reliabel, konsekuen, dan nyata. Kemudian kelanjutan arah yang ingin ditempuh setelah menjalankan pendidikan.
Dari pelaksanaan ujian nasional yang senantiasa berubah-ubah aturan mainnya, kenyataan yang kita temui, ujian nasional belum mampu menjadi alat ukur untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat kemajuan pendidikan, namun lebih mengarah kepada predikat ‘tukang jagal nasib orang’. Mengapa demikian, meskipun hasil belajar di sekolah siswa memiliki predikat yang baik, namun jika hasil ujian nasionalnya dari ketiga mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika, jika salah satunya memiliki nilai di bawah 4,00 atau rata-rata ketiganya dibawah 5,50 maka siswa dinyatakan ‘tidak lulus’ yang berarti siswa tersebut harus mengulang atau mengikuti ujian persamaan paket C. Fenomena lagi pada UN tahun 2010 kemarin karena saking banyaknya siswa yang tidak lulus, maka diadakan ujian ulang yang hasilnya masih perlu dipertanyakan.
Dan pada ujian nasional tahun 2011 ini untuk menentukan kelulusan disertakan nilai raport pada semester 3,4, dan 5 dengan bobot nilai 40% serta nilai ujian sekolah 60%. Dari keduanya disebut dengan Nilai Sekolah. Dan Nilai Akhir adalah 40% Nilai Sekolah ditambah dengan Nilai Ujian Nasional 60%. Berubahnya turan main ini dibanding tahun lalu mempertimbangkan adanya nilai proses kegiatan pembelajaran di sekolah yang diharapkan memiliki peran dalam penentuan kelulusan siswa. Sepintas aturan ini dapat dikatakan memudahkan siswa untuk lulus, seandainya pada proses kelulusan nilai raport dan nilai ujian sekolah mampu membantu didapatnya nilai akhir di atas nilai 4,00 dan rata-rata 5,50. Jadi meskipun UN-nya memiliki nilai di bawah 4,00 masih ada kemungkinan siswa dapat dinyatakan LULUS, apalagi jika nilainya terkandung bahan ‘rekayasa’.
Perlu kiranya kita semua menyadari seandainya proses pembelajaran yang dilakukan di sekolah itu berjalan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntutan kurikulum maupun diagram pencapaian kompetensi peserta didik serta aturan penilaian yang berlaku dilaksanakan secara baik dan benar serta dengan rasa tanggung jawab, rasa-rasanya kita pun akan ‘ foreplay ’ atau legowo menerima keputusan lulus atau tidak lulus, selesai atau tidak selesai siswa yang kita didik. Apapun aturan mainnya yang di POS kan oleh pemerintah tentang ketentuan kelulusan, mereka yakin bahwa itu semua demi peningkatan mutu pendidikan. Namun bagi kita yang melaksanakan aturan main itu kadang pula gemas dan bingung, dan lagi-lagi kita bertanya, “Mau dibawa kemana sebenarnya tujuan pendidikan kita..??”
Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing apakah sejauh ini kita selaku pendidik sudah melaksanakan proses pembelajaran yang baik dan benar yang bertujuan agar siswa terbangun motivasi dan potensinya untuk dapat menjadi cerdas dan pintar adalah suatu kebutuhan dan bukan semata kewajiban apalagi paksaan. Oleh karena proses pembelajaran yang dilaksanakan dengan rasa ketakutan, ancaman, maupun tidak menarik minat peserta didik untuk butuh belajar dapat dipastikan tidak akan tercapainya tujuan pembelajaran. Sehingga seringkali terjadi peserta didik tidak memiliki keyakinan dan rasa percaya diri bahwa dirinya mampu, yang terjadi mereka (peserta didik) bahkan para guru mencari berbagai cara (legal ataupun ilegal) agar sekolahnya mampu memenuhi tuntutan kelulusan seratus persen. Dengan demikian akan membuat pihak-pihak tertentu akan merasa hebat dan bangga (kehebatan dan kebanggaan yang semu, membohongi diri sendiri bahkan mungkin orang tua/wali peserta didik). Hasilnya bagi peserta didik yang lulus, ia tidak dan belum siap untuk memasuki dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja, kebodohan dan pengangguran berjalan beriring-iringan. Menjadi asset bangsa yang kurang produktif dan berdaya guna. Sedangkan bagi peserta didik yang tidak lulus, mereka menggelar aksi unjuk rasa terhadap orang tua, sekolah, anggota dewan, pemerintah dengan turun ke jalan menjalankan keputus asaan dan kekesalannya dengan ‘ berdemonstrasi ria ‘.

Peningkatan Mutu Pendidikan dan Merubah Budaya?
Di lain hal peningkatan mutu pendidikan yang senantiasa di dengung-dengungkan di berbagai acara seminar, lokakarya, workshop ataupun upacara hari pendidikan nasional, hari guru, hari PGRI, dan lain sebagainya masih sebatas seremonial dan wajib disampaikan tanpa adanya tindakan nyata untuk berbuat dan merubah budaya belajar dan bekerja menjadi lebih baik. Sebagai suatu anekdot disampaikan oleh salah seorang pejabat depdiknas bahwa, “Pemerintah sudah berupaya sedemikian rupa untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu dengan membangun banyak gedung sekolah dengan kelengkapan fasilitas yang baik dan memadai diharapkan nantinya tidak ada lagi anak-anak di usia wajib belajar tidak mengenyam pendidikan,meskipun kenyataannya banyak gedung-gedung sekolah roboh dan rusak sebelum waktunya serta banyak fasilitas-fasilitas pembelajaran yang tidak dimanfaatkan hanya menjadi hiasan dan barang koleksi sekolah, untuk kemudian rusak di makan waktu karena tak pernah tersentuh apalagi dijalankan. Oleh karena tidak mengerti dan tidak mau untuk mengerti.
Di berikannya pendidikan gratis dan pendanaan bantuan operasional sekolah (BOS) maupun bantuan operasional murid miskin (BOMM) dan lain sebagainya yang bertujuan agar tidak ada lagi siswa yang putus sekolah gara-gara miskin dan ekonomi sulit. Kenyataannya banyak terjadi penyelewengan dan penyalahgunaan, dan peserta didik yang putus sekolah tetap saja merajalela.
Di berikannya kenaikan tunjangan bahkan dana sertifikasi agar para pendidik atau guru mampu untuk meningkatkan kompetensi pengetahuan dan ketrampilannya menjadi lebih baik dan lebih kompeten di bidang mata ajarnya. Dan tidak senantiasa hanya memikirkan perut karena tuntutan kebutuhan ekonomi tidak mencukupi, dengan adanya kenaikan gaji, tunjangan bahkan sertifikasi, guru diharapkan akan lebih fokus bagaimana menciptakan proses pembelajaran yang produktif, aktif, kreatif, efektif, sekaligus menyenangkan sehingga pada akhirnya mampu menghasilkan lulusan dan tamatan yang siap memasuki dunia pendidikan tinggi dan dunia kerja memajukan kehidupan bangsa dan negara.
Kenyataan yang kita lihat dan perhatikan adalah banyak tenaga pendidik atau guru malah semakin sibuk dengan kepentingannya sendiri. Sibuk membeli tunai dan kredit fasilitas perabotan rumah, kendaraan bermotor, jadwal wisata dan tamasya, bahkan ada yang berencana beristri lagi. “ .....mau dibawa kemana pendidikan kita, jika kita kurang memiliki rasa peduli terhadap kecerdasan anak-anak negeri, demi cinta Ibunda Pertiwi di antara Saya, Engkau, dan Kita semua “. Dan masih banyak lagi yang sebenarnya terjadi.
Kunci dari segenap permasalahan-permasalahan yang mengakibatkan peningkatan mutu pendidikan masih berjalan ditempat adalah mulailah dari sekarang, bahwa jangan hanya mampu orang lain atau anak-anak didik kita untuk membiasakan budaya membaca, belajar, dan bekerja penuh motivasi dan gali potensi. Namun lakukan dan jalankan segala prosesnya mulailah dari diri kita untuk memulai dengan sesuatu yang baik dan benar sesuai dengan porsi, ketentuan dan bidang kerja kita masing-masing. Dan tetapkanlah suatu keyakinan bahwa kita juga mampu menjadi bangsa yang besar, bangsa yang cerdas, dan bangsa yang hebat diakui serta disegani oleh negara-negara lain di dunia. Dan kita tak perlu lagi saling menyalahkan, karena yang salah itu adalah yang tidak benar.

Tidak ada komentar: