FENOMENA INSTAN DUNIA PENDIDIKAN
Ada mie instan, ada minuman instan, dan segala sesuatunya yang berkaitan dengan makanan menjadi serba jadi tidak lagi membutuhkan proses yang lama untuk disantap. Apa yang dinamakan instan, yaitu sesuatu yang siap saji, siap dimakan, siap dipakai, dan harus cepat jadi atau cepat beres, tanpa perlu membutuhkan waktu yang lama untuk melakukan proses penyelesaiannya. Dengan segala kesibukan yang kian padat yang kian padat dan kepentingan yang kian mendesak, tuntutan pekerjaan dan sesuatu masalah yang harus diselesaikan sedemikian cepat maka tak heran kalau jaman sekarang disebut dengan ‘jaman instan’. Tidak perlu menunggu lama kalau dengan cara yang cepat bisa dicapai. Yang terkadang tidak perlu lagi dipertanyakan bagaimana cara yang cepat itu ?
Cara yang cepat dalam mempersiapkan sesuatu atau melakukan sesuatu, cenderung menjadi keinginan dan keharusan setiap orang. Tinggal bagaimana cara setiap orang itu mempersiapkan dan melakukan sesuatu yang serba cepat itu. Fokus masalahnya bila dicermati tak lain tergantung dari niat, kesempatan ( Situasi ), dan uang ( Kondisi/kelengkapan ). Orang bilang “ Time is Money “ dan “ Waktu adalah Uang “. Ada niat, ada kesempatan, dan ada uang apapun bisa dilakukan dan tidak dilakukan. Indikasinya dapat berkonotasi positif dan berkonotasi negatif. Namun tidak dipungkiri bahwa fenomena ‘ instan ‘ ini bila dikaitkan pada keinginan seseorang menyelesaikan sesuatu masalah atau pekerjaan itu dengan cara cepat dan tidak ingin repot biasanya lebih mengarah pada sisi konotasi negatif.
Fenomena ‘instan’ dalam kehidupan sosial ini sudah hampir menjadi virus yang menggerogoti sendi-sendi birokrasi dihampir tiap sudut-sudut persoalan dan dinamika kehidupan masyarakat dewasa ini. Tidak terkecuali pada sisi dunia pendidikan kita, dapat saja kita sebutkan diantaranya, dalam hal proses penerimaan siswa baru, proses penyelenggaraan pendidikan, proses kelulusan, proses kepegawaian di lingkungan pendidikan dan yang lebih hangat lagi diantaranya proses sertifikasi tenaga pendidik. Mungkin juga masih banyak lagi hal-hal lain yang belum sempat teramati dan timbul ke permukaan. Bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar bila rakyatnya dapat menjadi manusia yang cerdas dan berproses sesuai dengan alur pertumbuhan perkembangan kecerdasannya. Dan bukan sekedar kecerdasan instan yang bernafaskan kolusi dan nepotisme.
Apa sudah demikian kuasa dan hebatnyanya manusia dalam mengolah pengetahuan dan teknologi, hingga segala yang diingininya semuanya tinggal pencet tombol saja atau menghalalkan segala cara yang penting tujuan tercapai. Sampai ada suatu teknologi yang memungkinkan manusia menciptakan manusia tanpa harus melalui kesesuaian kodratnya. Seperti halnya dalam dunia pendidikan proses menghasilkan siswa yang berkualitas harus dimulai dengan proses yang berkualitas terlebih dahulu tidak saja bagi tenaga pendidiknya namun juga bagi pengelola institusi pendidikan. Umpamanya kita menanam padi tentunya dari benih yang ditanam, diolah dahulu tanahnya, disemai benih padi, diari dan dipupuk serta dijaga pertumbuhannya agar tidak dimakan hama atau wereng dan diolah oleh tangan-tangan petani yang ikhlas dalam bekerja dan memang ahlinya. Hingga pada akhirnya akan tumbuh padi yang berisi butiran-butiran nasi yang sangat padat, lezat dan bermanfaat bagi yang membutuhkannya. Begitu pula dengan proses pertumbuhan dan perkembangan anak manusia dalam dunia pendidikan tidak semata mengembangkan kecerdasan intelektualnya saja. Namun lebih dari itu diharapkan juga dalam dunia pendidikan akan dapat tumbuh dan berkembangnya kecerdasan mental spiritualnya para peserta didik, maka sudah semestinya bahwa proses yang diolah di dalam dunia pendidikan kita adalah memiliki sasaran dan tujuan menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang cerdas intelektualnya, memiliki keimanan dan ketaqwaan dan jiwa kebangsaan terhadap negara dan tanah airnya. Menjadi manusia seutuhnya yang dihasilkan oleh dunia pendidikan kita diharapkan memiliki prinsip hidup dalam iman dan ketaqwaannya, memahami jati dirinya untuk dapat berkarya dan berprestasi bagi bangsanya, memiliki jiwa kepribadian yang baik dan kuat dalam menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma kehidupan masyarakat dan berbangsa.
Apakah semuanya sudah demikian ? Sejauh ini segalanya masih berproses yang dipedomani oleh aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Badan Nasional Standar Pendidikan. Bagaimanapun juga situasi dan kondisi proses pendidikan yang berlangsung di sekolah-sekolah ataupun di lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita selama ini masih cenderung fokus terhadap target pencapaian hasil dan bukan pada target pencapaian proses. Yang penting target pencapaian materi kurikulum selesai tanpa lagi harus mempedulikan apakah peserta didik tuntas dalam memahami materi pembelajaran atau belum. Ujian nasional yang menjadi dasar kelulusan peserta didik terkadang tidak lagi sekolah menekankan bagaimana peserta didiknya terbangun motivasi dan potensinya mempersiapkan ujian, tapi lebih pada penekanan mempersiapkan ‘tim sukses’. Sudah menjadi cerita dihampir sebagian besar siswa dan kita semua. Menjelang dan sewaktu pelaksanaan ujian, baik sifatnya reguler maupun nasional senantiasa terbersit pemikiran bagaimana cara mencontek atau mencari bocoran jawaban agar Saya bisa lulus dan mendapatkan nilai yang tinggi atau sekolah harus lulus seratus persen. Bukan lagi bagaimana siswa harus berusaha belajar dengan sebaik-baiknya agar soal-soal ujian yang dikerjakan dapat dengan mudah karena siswanya paham dan mengerti. Lebih ironis lagi budaya dan fenomena keburukan ini di dukung dan dibudidayakan oleh oknum-oknum yang mengatakan dirinya ‘ Tim Sukses ‘. Dan terkadang lagi bagi mereka yang tidak mendukung dan tidak turut melestarikan budaya yang demikian ini dianggap ‘krodit’ dan harus disingkirkan serta main tikam kepada mereka yang tidak menyukainya. Keberhasilan mensukseskan suatu pekerjaan walaupun dilakukan dengan cara-cara yang tidak baik dan benar tetap menjadi kebanggaan di hampir sebagian besar kita dan mereka tak terkecuali dunia pendidikan kita. Lagi cerita dalam proses penerimaan siswa maupun mahasiswa baru, banyak permainan-permainan joki hadir di tengah-tengah kita. Dan kalau tidak tembus juga dengan terpaksa datang dengan kolusi dan nepotisme untuk dapat diterima. Begitu juga dengan proses penerimaan pegawai, kenaikan pangkat, bahkan mungkin sertifikasi masih banyak yang dilakukan dengan cara-cara instan dan jalan pintas. Karena memang terkadang untuk mengejar segalanya itu harus dapat tanpa harus keluar keringat.
Begitu pula dengan pelaksanaan sertifikasi guru yang terkadang penyusunan perencanaan dan dokumen pengajaran tidak lagi dipersiapkan sewaktu guru akan memulai mengajar namun lebih amat penting jika harus digunakan untuk kebutuhan portofolio sertifikasi. Mari sejenak kita berkaca pada diri sendiri agar kita dapat merefleksi segala ikhtiar dan ibadah kita menjadi lebih bijak dalam memahami dan memandang segala persoalan baik kekurangan maupun kelebihannya dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Pada dasarnya kita ingin menjadi lebih baik dari manusia yang lain, ingin menjadi hebat dari yang lain. Dan ingin menjadi berharga dibanding dengan yang lain. Tapi janganlah itu semua menjadikan kita dapat menghalalkan segala cara, mencari jalan pintas yang tidak sesuai dengan aturan permainannya yang pada akhirnya kita menjadi manusia yang pengecut, manusia kerdil, dan pecundang. Karena kita tidak mampu menghadapi kenyataan yang harus dijalaninya. Tidak berusaha kepada proses dan hanya kepada sasaran hasil semata. Dunia pendidikan adalah ujung tombak untuk maju dan berkembangnya suatu peradaban bangsa. Padanya akan menjadi lebih terhormat bila kualitas dan kuantitas yang dihasilkan olehnya benar-benar atas dasar perlakuan yang mesti dijalani, tidak melalui proses ‘instan’ apalagi ‘asal jadi’.
Untuk itu di genap usia bangsa kita yang ke enampuluh empat tahun merdeka serta dengan periodesasi kepemimpinan yang baru dan berawal mari kita merefleksi diri atas segala ketidakbaikan-ketidakbaikan yang menggerogoti eksistensi pribadi kita dan tanamkan kesucian dan keikhlasan pada hati kita yang paling dalam dan pastikan bahwa kita pun sanggup untuk menjadi manusia yang tidak saja dicintai oleh manusia lainnya tapi juga oleh Maha Penciptanya. Segala sesuatunya haruslah dilakukan dan diperoleh dengan proses kerja keras dan keyakinan yang mendalam untuk siap menghadapi segala cobaan dan tantangan. Karena hakikatnya ‘ HIDUP ADALAH PERBUATAN DAN HIDUP ADALAH IBADAH ‘ kepada Sang Khalik-Nya. Generasi muda adalah tonggak pondasi pembangunan bangsa, oleh karena itu jadilah generasi yang siap menghadapi tantangan dan cobaan jangan menjadi ‘generasi instan’ yang selalu mengeluh dalam menghadapi persoalan dan berbuat dengan menghalalkan segala cara dalam menyelesaikan persoalan. Bangsa kita adalah bangsa yang besar dan luhur, bukan bangsa mafia, dunia pendidikan adalah ruang lingkup kebenaran dan pencarian kebenaran namun bukan ‘ Pembenaran ‘. Kita harus yakin bahwa Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Penyayang pada hamba-hambanya yang memelihara kesabaran dan ketaqwaannya. (Thanks untuk tim Redaksi Gema atas dimuatnya tulisan Saya ini).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar