Kamis, 31 Maret 2011

Cerpen

“ Pak Tua”

Masih seperti hari kemarin dan hari-hari sebelumnya tiga pekan berlalu, Ia duduk termenung di bangku jati yang sudah reyot itu. Menatap tajam matanya dengan tatapan yang kosong melukiskan kehampaan harapan. Seakan ada yang dilihatnya tapi tak dapat mengatakannya, diam dan membisu. Di guratan wajah tuanya terkadang mengalir butiran-butiran air mata dari kedua belah kelopak matanya.Bagaikan aliran air sungai mati yang mengalir perlahan seakan turut menahan kesedihan yang terpendam. Tak ingin kiranya bangku jati tua itu menjadi curahan cerita dan keluh kesah laki-laki itu. Bukan tak ingin dijadikan sandaran kesedihannya, namun mungkin tak kuat jua harus turut menampung segala kesedihan dan kepiluannya. Pada keinginannya itu bangku jati tua itu hanya mampu berderit-derit tatkala pindahan gerakan duduknya bergeser.
“Mengapa tak sekalian saja, kau ajak aku turut menyertaimu “, ucapnya lirih dalam hati. “ Tak sanggup aku rasanya menahan permasalahan ini seorang diri, wahai istriku “. Penyesalan itu terkadang mengetuk-ngetuk hati kecilnya. Dan hanya di dengar oleh kesunyian dan pandangan kosong dinding teras rumah yang kian kusam. Hari sebelumnya, hari ini, dan mungkin jua hari-hari berikutnya Ia akan seperti itu, termenung duduk dalam dekapan kesunyian dan kegelisahannya....
“Bremmm...,breemmm....,breemmm...!!!, deruan suara motor itu memecah keheningan malam yang sunyi.”, membuat terjaga segenap makhluk yang sudah terlelap tidurnya. Mimpi-mimpi indah hilang terpendar, mimpi-mimpi buruk lari meninggalkan tuannya. Dalam kegelapan malam dan biasan sinar lampu neon di depan terasnya masih menampakan wajah kekesalannya. Suara langkah sepatu pantopelnya juga kian menyemangatinya untuk tetap dengan kekesalannya.
“Pak..Pak...,Pak..!!!, “ nada dan intonasinya penuh penekanan, tak lagi ia pandang dan sadari waktu di sekelilingnya.
.”Tok..tok..tok..!!!,” suara ketukan pintu yang terdengar juga seperti hantaman palu tumpul. Kasar dan keras.
“Pak..Pak..Pak..!!!!,” kembali suara panggilan itu terdengar kian panjang teriakan suaranya kian meninggi. Ingin diketuknya pintu rumah itu kembali, terdengar engsel suara pintu dibuka.
“Ada apa lagi Kau kesini, kan sudah kukatakan berapa kali kepadamu, nanti kalau sudah ada pasti diberitahu,” ucapnya tanpa harus lagi sang tamu mendahului berucap.Belum lagi dijawab pertanyaan itu oleh tamunya.
Ia masih berucap, “ Pulang saja Kau Li.., percuma Kau datang malam ini.”Apapun yang ingin dikatakannya pastilah jawabnya sama seperti hari-hari sebelumnya saat Ia datang. Tiada urusan diijinkan untuk menjawab. Ia berujar, “Bapak gimana sih.! Janjinya seminggu, ini sudah tiga minggu, nggak ada juga realisasinya. Saya kan butuh sertifikat itu Pak untuk membayar hutang-hutang dan keperluan Saya. Apa Bapak tega melihat Saya dikejar-kejar terus menjadi buronan para debtcollector yang galak itu. Saya sih masih bisa menghadapinya Pak, tapi kan kasihan istri dan anak-anak Saya Pak..!”, ucapnya dengan nada kesal.
“ Terserah Kau saja Li.., Aku sudah mengatakannya padamu. Meskipun Kau memaksaku malam ini, percuma saja Kau Li.., Kau tidak akan mendapatkannya “, balasnya dengan nada datar penuh kepasrahan. Tamu itu pun pergi dengan kekesalan dan kalimat umpatan yang terbias suaranya oleh keraguan hati dan desiran angin malam sunyi.

**
Enam bulan yang lalu, istri Pak Tua itu masih hidup meskipun dengan dekapan penyakit tuanya ditemani dengan dua anak gadisnya, yang satu sudah menginjak masa pernikahan. Masih ada segenggam kemesraan yang terlihat. Ya..kemesraan keluarga yang sedikit dan terpendam dalam deraan persoalan-persoalan hidup. Rumah yang ditempatinya adalah rumah warisan dari orang tua si Pak Tua itu. Tidak begitu besar namun cukup memberikan keleluasaan bagi para penghuninya. Istrinya berumur usia senja yang memang gilirannya senantiasa sakit-sakitan, sakit darah tinggi, kencing manis, dan juga sakit encok. Sudah berobat dengan sekian banyak dokter dan rumah sakit, namun karena memang usianya yang sudah lanjut. Ia masih selalu terbaring sakit di tempat tidurnya. Meskipun terkadang masih mampu berjalan namun harus dituntun dan tertatih-tatih. Dan Ia memang telah pasrah pada sang maut jika sewaktu-waktu ingat akan jadwal penjemputannya.
Tak jauh berbeda dengan istrinya, Ia pun masuk kategori manusia usia senja. Ia takkan mau untuk menjawab pertanyaan orang-orang sekitarnya jika ditanya berapa usianya kini. Ia hanya mampu tersenyum getir dan sedikit menampakan keramahan. Dan orang-orang hanya dapat mengira-ngira bahwa usia Pak Tua itu sekitar enampuluhan atau tujuhpuluhan tahun. Perawakan mudanya dulu kata anak dan istrinya tegap dan gagah. Dan Ia dulu bekerja sebagai Kepala Bagian Personalia di sebuah perusahaan Kawasan Industri di daerah Cikarang. Lima tahun yang lalu Pak Tua itu pensiun dari pekerjaannya. Memasuki usia pensiunnya Ia tinggal dengan istri dan kedua anak perempuannya yang satu baru lulus Sekolah Menengah Ekonomi Atas bernama Asmiyati, sedangkan yang satunya lagi bernama Asmiyatun yang berusia lebih kurang tiga puluh dua tahun dan sudah setahun ini di PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, karena perusahaan tempatnya bekerja terkena imbas krisis global. Dan Ia baru bekerja selama setahun. Maklum banyak perusahaan sekarang yang memperkerjakan karyawan-karyawanya dengan sistem kerja kontrak dan terkadang juga sistem penggajiannya masih ditangani oleh yayasan penyalurnya. Sehingga saat di PHK tak begitu banyak uang pesangon yang Ia terima. Satu lagi anaknya laki-laki adalah yang tertua yang kini sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Anak pertamanya berumur tujuh tahun sedangkan anak keduanya masih berusia satu tahun. Sedangkan istrinya adalah hanya seorang ibu rumah tangga. Sajali, demikian Ia bernama berusia kira-kira tiga puluh tujuh tahun. Ia bekerja sebagai sopir di sebuah perusahaan yang berada di daerah kawasan industri Pulo Gadung dan masih bekerja dengan sistem kontrak kerja. Gajinya sebagai karyawan tidak tetap sudah tentu harus pandai-pandai setiap harinya mensiasati pengeluaran kebutuhan keuangan di rumah maupun kepentingannya. Dan masih pula terkadang Ia masih mengharapkan bantuan dan pinjaman uang dari orang tuanya. Tiada rasa malu Ia tampaknya, karena berpikiran bahwa Ia akan mewarisi paling banyak harta yang dimiliki oleh orang tuanya. Yang terpikir di benaknya hanya jatah warisan yang akan diterimanya, tanpa tiada lagi kepedulian terhadap kondisi dan permasalahan yang dialami oleh orang tua-nya. Kemiskinan terkadang membuat seseorang tak ingat akan hidupnya untuk orang lain bahkan mungkin orang tuanya sendiri.
***
Enam bulan yang lalu kejadiannya tatkala kedua anak gadisnya memiliki keperluan mendesak. Asmiyati dalam persiapan menghadapi kebutuhan keuangan untuk keperluan mengikuti ujian nasional dan ujian sekolah sedangkan yang satunya lagi Asmiyatun dalam keperluan untuk mempersiapkan pernikahannya. Rencananya setelah Asmiyati selesai sekolahnya Asmiyatun berencana akan melangsungkan pernikahan dengan pria idamanya. Sudah barang tentu banyak mempersiapkan dana yang tidak sedikit. Pensiunan Ayahnya tidak dapat diharapkannya karena telah habis ditelan usaha yang dilakukannya. Paling-paling dari uang hasilnya bekerja ditambah lagi yang paling pahit adalah mengharapkan orang tuanya untuk mau untuk menggadaikan sertifikat rumahnya sementara ini kepada kerabat Ayahnya.
Kenyataan yang terjadi akad dan acara pesta pernikahan itu gagal dilaksanakan karena dua hari sebelum pelaksanaan pernikahan bakal calon suaminya Asmiyatun tertangkap oleh polisi karena terlibat kasus penggelapan mobil perusahaan. Sehingga Ia dijebloskan ke dalam penjara. Sudah tentu masalah ini membuat Asmiyatun tak ingin melanjutkan pernikahannya begitu pula ibunya. Sedangkan dana yang dikeluarkan tiada berbekas. Asmiyati lulus sekolah dan langsung bekerja walaupun hanya sekedar menjadi penjaga toko.
Sertifikat rumah yang digadaikan kepada kerabat Ayahnya tidak jelas kini keberadaannya, oleh karena sertifikat rumah itu kini berada di pihak Bank Perkreditan Rakyat karena sudah diagunankan oleh kerabatnya itu. Dan kerabatnya itu kini tiada jelas keberadaanya, pergi dan hilang tanpa jejak pesan kepadanya dengan jumlah pinjaman ke Bank itu yang melebihi pinjaman kepada kerabatnya. Kini pihak Bank senantiasa menagih padanya sedangkan Ia tiada pula kesanggupan membayarnya. Bunga berbunga jangankan utang pokok terbayarkan malah bunga berbunganya saja tiada cukup pula Ia membayarnya. Dan kini ditambah pula persoalan dengan anak laki-lakinya yang kian hari kian menuntut untuk dipinjamkan sertifikat rumahnya untuk digadaikan karena keperluan mendesak biaya operasi anak bungsunya, bayaran sekolah anaknya, serta keperluan mengangsur cicilan rumahnya yang sudah lima bulan ini belum terbayarkan. Sehingga pihak Bank senantiasa datang menyampaikan peringatan kepadanya baik teguran lisan dan tertulis. Menurut kabarnya bulan ini jika tidak dilunasi pembayarannya rencananya rumah tersebut akan disita oleh Bank dan akan dilelang. Oleh karena itu Ia senantiasa bersikeras kepada Ayahnya untuk menebus sertifikat rumah itu dan menanyakan kepada kerabatnya yang menggadaikan sertifikat rumah itu untuk menyelesaikannya. Namun Pak Tua senantiasa menjanjikan kepada anaknya itu untuk bersabar hingga minggu depan. Dan ini sudah minggu ketiga Ia berjanji kepada anaknya yang tiada pula jangankan untuk menepati untuk menjanjikannya saja Ia tak mampu lagi berkata-kata.
“ Dosa dan kesalahan apa ya.. Tuhan yang Engkau azabkan kepadaku hingga persoalan ini kian datang bertubi-tubi menghantam pada fisik dan jiwa yang rapuh ini. Tiadakah ketidaksanggupanmu untuk membantuku barang sejenak mengatasi persoalan-persoalan ini. Apakah kini tak lagi Engkau menganggapku sebagai hamba-Mu dan makhluk ciptaan-Mu “, berujar Ia dalam hati dan terucap dalam do’a-do’a malamnya yang terkesan menggerutu pada Sang Penciptanya. Namun kian berat pula kiranya persoalan itu menyelimuti mungkin saja dengan kedatangan anak laki-lakinya semalam malah makin kian terpukul kesanggupannya menerima beban permasalahan yang tiada kunjung usai.
“ Bu...mengapa tiada pula engkau mengajakku menemui Sang Pencipta agar aku dapat lepas dari persoalan-persoalan ini. Tersenyum ataukah Kau menangis melihat kenyataanku menghadapi persoalan ini. Sungguh aku tak kuat lagi menanggung ini semua . Sedangkan harapan kepada anak-anak kita tiada lagi yang dapat diandalkan untuk turut membantu mengatasi persoalan ini ”, dalam hati kecilnya Ia berkata lirih dan menampung kegelisahan hati dan pikirannya yang kian membengkak menunggu tepat waktu klimaksnya.
****
Selepas waktu Isya’ sampai aku tiba di depan gang kompleks tempat tinggalku. Terlihat banyak orang berkerumun dibawah naungan tenda yang tiada begitu besar terikat di ujung batang pohon dekat portal masuk nampak bendera kuning dari kertas minyak. Sepintas dari pintu masuk gang bendera itu nampak tak terlihat karena kurangnya penyinaran lampu di sekelilingnya. Namun dari suasana yang terlihat olehku, menampakkan kejelasan bahwa sesuatu keadaan duka cita sedang terjadi. Ya duka cita kematian rpanya, karena biasanya terjadi bila ada bendera kuning terpasang. Siapa gerangan kiranya yang meninggal, pertanyaan itu memburuku untuk mendapatkan jawaban. Bergegas aku turun dari sepeda motorku, kumatikan mesinnya dan kutuntun melewati kerumunan orang-orang yang berkumpul itu.
“Siapa yang meninggal, Pak “, tanyaku pada seseorang yang kulewati.
“Pak Imron “, jawabnya kepadaku. Menurut ceritanya Ia meninggal mendadak, mungkin kena serangan jantung setelah tadi siang anaknya Sajali mengamuk meminta sertifikat rumah kepada orang tua itu. Karena tidak di kasih, karena memang tidak ada padanya, maka Sajali memberantakan perabotan isi rumah sambil memarahinya.
“Memang dasar anak kurang ajar si Sajali itu, bukannya turut prihatin dengan kondisi orang tuanya ini malah memarahinya “, sahut salah seorang tamu yang hadir disitu. Esoknya kemudian jasad orang tua itu dimakamkan. Tiada banyak sanak kerabatnya yang hadir, tak terkecuali si Sajali. Hanya anak perempuan pertamanya saja yang ada di sana. Sedangkan anak perempuan bungsunya juga tak terlihat. Kabarnya dalam perjalanan, karena memang Ia tinggal jauh bersama salah seorang kerabatnya.
*****
Pada malam-malam sesudahnya. Tak lagi aku melihat orang tua itu duduk bersandar di halaman teras rumahnya. Kadang aku terjaga di tengah malam, kuintip dari sudut jendela rumahku hanya kesunyian yang tergambar. Apakah di alam sana Ia masih sering duduk termenung memendam segala beban persoalannya ataukah mungkin Ia sekarang merasa bahagia. Karena tiada lagi persoalan yang membebaninya. Tenang dan damai bersama istrinya.
“ Ya Tuhan semoga saja Engkau mema’afkan atas segala dosa dan kesalahan-kesalahannya “, do’aku dalam hati. Dan semoga saja di hari tuaku kelak Aku tidak mengalaminya seperti yang terjadi pada Pak Tua itu. Dan jadikanlah anak-anakku menjadi anak yang senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya serta mudahkanlah segala urusanku. Amin. (Akhir Oktober 2009 )

Tidak ada komentar: